ITU PUNYAKU JANGAN DIAMBIL.

Namaku Ember Khalia Salsa Widiya.
Umurku 16 tahun. Aku bersaudara hanya ber 2. Aku anak bungsu. Dan anak pertama kakak laki- lakiku. Dia bernama Raden.

Aku masih mempunyai kedua orang tuaku.

dan kami baru saja pindah ke rumah peninggalan keluarga besar kami, di sebuah desa kecil bernama Cangkring. Rumah itu milik nenek buyut kami, katanya, sudah lebih dari seratus tahun usianya. Rumah tua yang besar, kayunya berderit, jendelanya tinggi-tinggi, dan lorong-lorongnya panjang seperti labirin.

Aku tidak pernah suka rumah ini sejak hari pertama. Bukan hanya karena bentuknya menyeramkan, tapi ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang membuat tengkukku selalu terasa dingin.

Awalnya, semuanya baik-baik saja. Tapi semua berubah saat aku menemukan buku harian itu.

Hari itu, aku sedang membereskan loteng bersama Raden. Lotengnya penuh debu dan sarang laba-laba. Di sudut ruangan, di bawah tumpukan kain tua, aku menemukan sebuah buku lusuh berwarna hitam. Kulitnya terkelupas, kertasnya menguning, tapi di sampul depannya tertulis jelas dengan tinta merah:

"Salsa Widiya"

Aku terpaku. Itu nama belakangku. Nama nenekku yang katanya menghilang tanpa jejak sebelum aku lahir. Katanya, nenek Salsa adalah perempuan aneh yang suka menyendiri. Tidak ada yang tahu pasti ke mana dia pergi, tapi orang-orang di desa ini masih suka berbisik tentangnya.

Aku buka halaman pertama buku itu. Isinya tulisan tangan yang rapi, tapi kata-katanya membuat bulu kudukku berdiri:

"Kalau kau membaca ini, berarti kau sudah mengambil punyaku. Jangan diambil... Itu punyaku..."

Aku menutup buku itu cepat-cepat. Ada perasaan tidak enak di dadaku. Tapi rasa penasaranku lebih besar. Malam itu, diam-diam aku bawa buku itu ke kamar.

Aku mulai membaca isinya. Halaman demi halaman, tulisannya semakin aneh. Awalnya, hanya cerita biasa tentang keseharian nenek Salsa di rumah ini. Tapi semakin lama, isinya berubah jadi keluh kesah yang mengerikan:

"Mereka semua mengira aku gila. Mereka tidak dengar bisikan itu. Tidak lihat bayangan itu. Tapi aku lihat. Mereka datang setiap malam. Mereka ingin aku pergi. Tapi rumah ini milikku... semuanya milikku..."

Setiap aku membaca buku itu, udara di kamarku terasa lebih dingin. Jendela kamar tiba-tiba terbuka sendiri, dan aku mulai mendengar bisikan yang sama seperti di tulisan itu.

"Jangan diambil... itu punyaku..."

Aku pikir itu cuma imajinasi. Sampai suatu malam, aku terbangun jam 2 pagi. Lampu kamar padam, dan di dinding kamarku ada tulisan besar seperti dicakar dengan kuku:

"Itu punyaku... Jangan diambil..."

Aku panik, membangunkan Raden. Dia datang, melihat tulisan itu, dan wajahnya langsung pucat. Kami periksa kamar, tapi tidak ada siapa-siapa.

Raden menyuruhku membuang buku itu. Tapi aku takut. Perasaan di dalam rumah ini berubah sejak aku temukan buku itu. Seolah-olah ada yang mengikuti aku ke mana pun aku pergi.

Keesokan paginya, kami tanya ke Ibu tentang nenek Salsa. Ibu hanya diam, wajahnya tegang. Tapi akhirnya dia cerita:

"Nenekmu itu... dia bukan sekadar hilang. Dia menghilang di rumah ini. Di kamar loteng itu. Terakhir kali kami lihat, dia duduk sendiri menulis buku harian... lalu lenyap. Begitu saja. Hanya bukunya yang tersisa."

Aku merasa mual. Berarti buku yang kutemukan itu...

Sejak malam itu, kejadian aneh semakin sering terjadi. Lampu kamar sering mati sendiri, bayangan-bayangan melintas di cermin, dan setiap malam aku mendengar suara langkah kaki di lorong rumah, padahal semua sudah tidur.

Tapi puncaknya terjadi tiga hari setelah aku menemukan buku itu.

Aku bangun tengah malam, kamar gelap, dan buku harian itu terbuka sendiri di meja. Halamannya terbuka tepat di bagian terakhir, tulisan tangan nenekku, tapi entah kenapa, aku merasa tulisan itu baru saja ditulis:

"Aku sudah tahu siapa yang ambil punyaku... Dia harus kembalikan... Atau aku ambil miliknya..."

Tubuhku gemetar. Tiba-tiba, bayangan seorang perempuan muncul di cermin. Rambutnya panjang menutupi wajah, bajunya compang-camping, dan dia berdiri mematung menatapku.

Aku menjerit, berlari ke kamar Raden. Tapi saat kami kembali ke kamarku, bayangan itu sudah hilang. Hanya buku harian itu yang tetap terbuka, dan kini di bawah tulisan itu ada tambahan kalimat:

"Itu punyaku... sekarang aku ambil milikmu..."

Malam itu juga, aku dan Raden mencoba membakar buku itu. Kami pergi ke halaman belakang, menyiram buku itu dengan minyak tanah, dan membakarnya. Api menyala besar, membakar halaman-halaman kertas yang sudah rapuh.

Aku pikir selesai.

Tapi tidak.

Keesokan paginya, buku itu kembali ada di meja kamarku. Utuh, tidak terbakar, tidak rusak, seolah tidak pernah disentuh api.

Dan di halaman pertama, ada tulisan baru:

"Aku sudah bilang... itu punyaku... jangan diambil..."

Sejak saat itu, mimpi buruk terus menghantui. Aku bermimpi berada di rumah yang sama, tapi semuanya gelap. Di ujung lorong, nenek Salsa berdiri, wajahnya rusak, matanya kosong, dan tangannya memegang buku itu.

"Kalau kau ambil punyaku... aku ambil milikmu..."

Aku bangun, keringat dingin membasahi tubuhku. Setiap malam mimpi itu terulang. Tubuhku semakin lemah, mataku cekung, aku sulit tidur, sulit makan.

Orangtuaku mulai khawatir. Tapi aku tidak berani cerita. Mereka pasti pikir aku berhalusinasi.

Raden akhirnya menghubungi seorang dukun tua di desa, Pak Surya. Begitu melihat buku itu, wajah Pak Surya langsung berubah pucat.

"Buku ini... bukan sekadar buku harian. Ini wadah. Tempat nenek kalian... menyegel dirinya sendiri. Dia tidak pernah pergi. Rohnya masih di sini. Dan siapa pun yang membuka ini, akan terikat dengannya."

Aku gemetar.

"Lalu bagaimana caranya melepaskan ikatan itu?" tanya Raden.

Pak Surya menggeleng. "Tidak bisa. Satu-satunya cara... kau harus kembalikan apa yang kau ambil. Tapi ingat, saat kau membukanya... kau sudah ambil sesuatu yang bukan milikmu."

Malam itu, aku mencoba mengembalikan buku itu ke loteng. Aku letakkan di tempat semula, berharap semuanya selesai.

Tapi saat aku kembali ke kamar, aku melihat buku itu sudah ada lagi di meja.

Aku menangis. Tubuhku lemas. Di cermin, bayangan nenek Salsa kembali muncul, semakin jelas, semakin dekat.

"Itu punyaku... jangan diambil... sekarang... kau punyaku..."

Dari hari itu, aku merasa bukan diriku lagi. Tubuhku lemas, mataku sayu, dan bayangan di cermin sering tidak mengikuti gerakanku. Kadang, aku melihat diriku di cermin tersenyum, padahal aku tidak tersenyum.

Aku sadar... perlahan-lahan, aku mulai kehilangan kendali atas tubuhku.

Dan buku harian itu?

Masih ada di meja. Terbuka, dengan tulisan yang terus bertambah setiap malam.

Tulisan itu berbunyi:

"Itu punyaku... sekarang aku ambil milikmu..."

Dan aku tahu... cepat atau lambat... aku akan lenyap, sama seperti nenekku.





Tamat










Komentar

Postingan populer dari blog ini

JANGAN MELEWATI WAKTU JAM 10 MALAM

MENDEKAT KEPADA KU

JANGAN MASUK KE DALAM